SEJARAH PETASAN DI TANAH BETAWI (JAKARTA)
Baik
pagi, siang maupun malam petasan-petasan diledakkan tidak hanya oleh anak-anak
tetapi juga oleh orang dewasa. Ada
yang memiliki daya ledak ringan, tetapi ada juga yang ledakannya sampai
memekakkan telinga. Dentuman petasan dan kembang api bersahut-sahutan sehingga
menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Ledakan yang menggelegar dan
memekakkan biasanya disambut dengan tepuk-tangan dan sorak-sorai.
Pada kesempatan ini penulis ingin menuliskan telusur
asal-asul petasan hingga hadir menyemarakkan bulan puasa bagi umat Islam,
terlepas dari pembahasan aspek bahaya dan larangan pihak yang berwajib. Secara
garis besar petasan yang sekarang ini memeriahkan masa puasa dan lebaran di Indonesia tak
lepas dari tradisi yang berakar pada kebudayaan Cina.
Historisitas petasan
Dalam beberapa literatur Cina dicatat bahwa bubuk mesiu pertama kali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal yang jika digabungkan dengan oksigen akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Selain digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi Mongol yang dipimpin oleh Kaisar Kubelai Khan pada tahun 1279, mesiu juga digunakan untuk penyemarakan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan dengan spiritualitas dasar: mengusir roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu perayaan dan pesta.
Dalam beberapa literatur Cina dicatat bahwa bubuk mesiu pertama kali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal yang jika digabungkan dengan oksigen akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Selain digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi Mongol yang dipimpin oleh Kaisar Kubelai Khan pada tahun 1279, mesiu juga digunakan untuk penyemarakan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan dengan spiritualitas dasar: mengusir roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu perayaan dan pesta.
Tradisi petasan dan kembang api sendiri bermula di Cina pada
abad Ke-11, dan kemudian menyebar ke Jazirah Arabia pada abad ke-13 dan
selanjutnya ke daerah-daerah lain. Tradisi petasan dibawa oleh Orang Tiong Hoa
yang datang dan menetap di Indonesia.
Orang Tiong Hoa yang datang pertama kali di nusantara khususnya di Jawa yaitu seorang
pendeta Budha Fa Hien (Faxien). Ia datang ke Jawa pada tahun 413. Ia mendapati
pulau Jawa tidak ada orang Tiong Hoa. Ia kembali ke Cina. Selanjutnya dalam
banyak literatur dicatat bahwa orang Tiong Hoa yang datang ke Indonesia
ternyata hanya berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwang Tung.
Secara historis kedatangan bangsa Tiong Hoa di Indonesia
melalui tiga tahap. Tahap pertama yaitu tahap kerajaan. Orang-orang yang datang
pada tahap ini kebanyakan para pedagang. Karena melihat musim angin yang baik,
mereka ini berlayar dan akhirnya sampai di perairan Indonesia.
Tahap kedua yaitu setelah kedatangan bangsa Eropa di Asia
Tenggara pada abad ke-16. Motif kedatangan mereka sampai ke Indonesia yaitu
masih perdagangan. Kedatangan Inggris, Spanyol, Belanda dan Portugis mmenambah
semangat orang Tiong Hoa untuk berdagang.
Tahap ketiga yaitu saat Indonesai di bawah Pemerintahan
Belanda. Orang-orang Tiong Hoa kebanyakan berada di pesisir utara Pulau Jawa
untuk berdagang. Selain itu, kehadiran mereka juga dikarenakan oleh kebijakan
Pemerintah Belanda yang dengan sengaja mendatangkan orang Tiong Hoa sebagai
tenaga kerja di proyek-proyek pertambangan dan pelabuhan.
Adaptasi budaya Betawi
Seorang sejarawan Betawi yaitu Alwi Shahab meyakini bahwa tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana merupakan adopsi tradisi orang-orang Tiong Hoa yang bermukim di sekitar mereka.
Seorang sejarawan Betawi yaitu Alwi Shahab meyakini bahwa tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana merupakan adopsi tradisi orang-orang Tiong Hoa yang bermukim di sekitar mereka.
Catatan sejarah yang cukup mencolok terkait dengan peristiwa
1740 yaitu kerusuhan etnis Tiong Hoa di Batavia. Pada tahun ini terjadi
pembantaian 10.000 orang etnis Tiong Hoa yang tak berdosa di Ommelanden, daerah
pinggiran atau pedalaman Batavia. Pembantaian itu dilatarbelakangi persaingan
dagang. Pedagang Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis kalah bersaing dengan
pedagang Tiong Hoa sehingga mereka menghasut penduduk kota Batavia untuk
membantai etnis Tiong Hoa. Meski demikian, ada versi lain yaitu terkait
kerawanan sosial karena banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menjadi pengangguran.
Dengan alasan inilah Pemerintah Belanda membantai mereka.
Tidak jelas motif pembantaian etnis Tiong Hoa tahun 1740
itu. Tapi satu hal yang jelas yaitu etnis Tiong Hoa di Batavia kalang kabut
setelah peristiwa pembantaian itu. Mereka melarikan diri ke daerah-daerah
pinggiran di Batavia seperti Tangerang, Parung, Serpong, Parung Panjang, Tenjo,
Cisauk, Teluk Naga dan Balaraja. Mereka ini lantas disebut Cina Benteng. Mereka
ini ternyata membawa terus adat kebiasaan mereka seperti menyalakan petasan
menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan tradisi Cina lainnya. Parung Panjang,
sebuah kota di sebelah barat Serpong sampai saat ini masih dikenal sebagai
pusat penghasil petasan terbesar di Indonesia.
Sekularisasi makna
Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh orang-orang Betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Itu tidak berhenti di situ saja, ternyata dalam perkembangan waktu petasan memeriahkan bulan suci puasa bagi umat Islam. Arti simbolis petasan dalam tradisi Cina dan Betawi yaitu sebagai alat komunikasi. “Pada jaman dulu jarak rumah penduduk berjauhan. Untuk memberitahu bahwa ada pesta pernikahan atau khitanan orang menyalakan petasan, “ungkap Alwi Shahab sejarawan Betawi. Selain itu, petasan juga dipakai sebagai sarana untuk memberitahu para undangan dan khalayak ramai bahwa pesta segera dimulai. Kebudayan Betawi tidak statis, tetapi dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi.
Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh orang-orang Betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Itu tidak berhenti di situ saja, ternyata dalam perkembangan waktu petasan memeriahkan bulan suci puasa bagi umat Islam. Arti simbolis petasan dalam tradisi Cina dan Betawi yaitu sebagai alat komunikasi. “Pada jaman dulu jarak rumah penduduk berjauhan. Untuk memberitahu bahwa ada pesta pernikahan atau khitanan orang menyalakan petasan, “ungkap Alwi Shahab sejarawan Betawi. Selain itu, petasan juga dipakai sebagai sarana untuk memberitahu para undangan dan khalayak ramai bahwa pesta segera dimulai. Kebudayan Betawi tidak statis, tetapi dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi.
Makna petasan dari waktu ke waktu terus mengalami
sekularisasi. Pada kebudayaan Cina ada unsur mistisnya yaitu mengusir roh-roh
jahat, pada kebudayaan Betawi berkembang menjadi sarana komunikasi dan pada
bulan suci puasa semakin sekular yaitu penyemarakan suasana waktu buka puasa
maupun saat sahur. Petasan menjadi bagian dari entertainment.
No comments:
Post a Comment